MENUMBUHKAN SIKAP TAWADHU

Menurut Ibnu Qayyim
rahimahullah bahwa, “Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala
seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap
tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin
meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka
semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka
bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali
bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia
dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah
hati kepada mereka.”

 Dalam kehidupan sehari-hari umat Muslim sangat dianjurkan
untuk selalu memelihara sikap tawadhu. Memiliki perilaku tawadhu atau rendah
hati juga merupakan salah satu cerminan seorang Muslim yang beriman kepada
Allah SWT. Tawadhu bukan sekedar tata krama biasa, melainkan sikap ini jauh
lebih dahulu ketimbang sopan santun yakni suatu sikap batin yang menjelma dalam
praktik lahiriyah secara wajar dan bijaksana. Belajar menerapkan sikap tawadhu
dalam kehidupan sehari-hari tidak akan merugikan melainkan dapat bermanfaat
membuat kamu lebih tenang dalam menjalani kehidupan. Lalu apa tawadhu’ itu ?

 Tawadhu’ secara bahasa bermakna rendah terhadap sesuatu.
Sedangkan secara istilah adalah menampakkan perendahan hati kepada sesuatu yang
diagungkan. Ada juga yang mengatakan tawadhu’ adalah mengagungkan orang karena
keutamaannya. Tawadhu’ adalah menerima kebenaran dan tidak menentang hukum.
Tidak ada yang mengingkari, bahwa tawadhu’ adalah akhlak yang mulia.

 Sikap tawadhu atau rendah hati selalu dianjurkan untuk
dimiliki setiap Muslim. Seseorang yang senantiasa menjalankan perilaku ini
secara lahir batin, akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT. Manusia adalah
tempatnya berbagai kelemahan, dan Allah meletakkan suatu kelebihan kepada orang
tertentu dan meletakkan kekurangan kepada orang tertentu pula. Maka tidaklah
mungkin ada orang yang sempurna dan tidak kekurangan. Orang yang rendah hati
menyadari hal itu, sehingga ketika dia melihat saudara sesamanya memiliki
sesuatau yang dia tidak miliki, maka dia akan tetap tenang dan tidak sakit
hati. Hal ini bertolak belakang dibandingkan dengan orang yang sombong. Dia
akan selalu gelisah dan merasa jengkel ketika dia melihat seseorang melebihi
dirinya, entah hartanya, kecantikanya/ ketampananya, kedudukanya dan
sebagainya.

 Barangsiapa mau merendahkan hatinya di hadapan manusia dan
Allah, maka tenanglah hatinya. Seseorang belum dikatakan tawadhu kecuali jika
telah melenyapkan kesombongan yang ada pada dirinya. Semakin kecil sifat
kesombongan seseorang, semakin sempurnalah ketawadhuanya. Kita adalah hamba
Allah SWT, sungguh tidak pantas bagi seorang hamba berjalan di muka bumi dengan
kesombongan. Allah berfirman:
 

وَعِبَادُ الرَّحۡمٰنِ الَّذِيۡنَ
يَمۡشُوۡنَ عَلَى الۡاَرۡضِ هَوۡنًا وَّاِذَا خَاطَبَهُمُ الۡجٰهِلُوۡنَ قَالُوۡا
سَلٰمًا

 Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah
orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang
bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan
“salam,” (QS. Al Furqan: 63)

 Sifat tawadhu tidak dapat diperoleh secara spontan, tetapi
harus diupayakan secara bertahap, serius dan berkesinambungan. Beberapa cara
yang dapat dilakukan untuk memperoleh sifat tawadhu antara lain:

 a.    Mengenal Allah
SWT

“Setiap manusia akan bersikap tawadhu’ seukuran dengan
makrifatnya (pengenalanya) kepada Tuhanya.” Orang yang mengenal Allah dengan
sebeenarnya akan menyadari bahwa Dialah Yang Maha Kuasa, Maha Kaya, dan Maha
Perkasa, yang tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Bila ia mendapat
kebaikan, ia memuji dan bersyukur kepada-Nya. Orang yang mengenal Allah akan
mengakui bahwa dirinya kecil dan lemah, sehingga ia akan tawadhu dan merasa tidak
pantas untuk berlaku sombong.

 b.    Mengenal Diri

Dilihat dari asal-usulnya, manusia berasal dari sperma yang
hina. Kemudian lahir kedunia dalam keadaan tanpa daya dan tidak mngetahui
apapun. Karena itu manusia tidak berhak sombong. Ia harus bersikap tawadhu,
sebab ia lemah dan tidak mempunyai banyak pengetahuan. Manusia dapat terjebak
kepada kesombongan bila ia tidak menyadari kekurangan dan aib yang ada pada
dirinya. Boleh jadi seseorang mengira bahwa dirinya telah banyak melakukan
kebaikan, padahal ia justru melakukan kerusakan dan kedzaliman. Oleh karena
itu, setiap muslim harus selalu melakukan intropeksi diri sebelum melakukan,
saat melakukan, dan setelah melakukan sesuatu sebelum ia dihisab oleh Allah SWT
kelak di hari Qiyamat Yaumul Hisab. Hal ini harus disadari atas kekurangan dan
aib dirinya sejak dini, sehingga ia akan bersikap tawadhu dan tidak akan
sombong kepada orang lain, terutama kepada Tuhan Allah SWT.

 c.    Merenungkan
Nikmat Allah

Hakikatnya seluruh nikmat yang di anugerahkan Allah SWT
kepada hamba-Nya adalah ujian untuk mengetahui siapa yang bersyukur dan siapa
yang kufur. Banyak manusia yang tidak menyadari hal tersebut. Banyak diantara
kita diberi nikmat, baik berupa ilmu, harta, kedudukan, prestasi dan lainya,
merasa bangga pada diri sendiri. Kekaguman pada diri sendiri adalah pangkal
kesombongan. Karena itu kita perlu merenungkan atas nikmat Allah yang kita
terima, sekecil apapun. Apakah kita syukur atau kita kufur. Dengan tawadhu dan
hati-hati, kita mesti bersyukur dan bahkan mewaspadai jangan-jangan  kita masuk perangkap “istidraj”, perilaku
yang akan berakibat fatal. Selain merenungkan nikmat Allah dalam usaha untuk
menumbuhkan akhlak tawadhu, supaya merenungkan manfaat tawadhu.

 Gus Baha ini menyebutkan ada lima cara untuk Muhasabah
Nafsiyyah untuk menumbuhkan sikap tawadhu’ seperti yang tertuang dalam kitab
Bidayatul Hidayah, karangan Imam al-Ghazali.

 1. Apabila engkau melihat orang yang masih muda, maka
katakan dalam hatimu, ‘Orang ini belum banyak durhaka kepada Allah sedangkan
aku sudah banyak durhaka pada Allah. Tidak diragukan lagi orang ini lebih baik
dariku’.

 2. Apabila engkau melihat orang yang lebih tua, katakan
dalam hatimu, ‘Orang ini sudah beribadah sebelum aku, dengan begitu tidak
diragukan lagi bahwa dia lebih baik dariku’.

 3. Apabila engkau melihat orang alim (berilmu), katakan
dalam hatimu, ‘Orang ini sudah diberi kelebihan yang tidak diberikan kepadaku.
Dia menyampaikan suatu kebaikan kepada orang lain sedangkan aku tidak
menyampaikan apa-apa. Dia tahu hukum-hukum yang tidak aku tahu. Maka bagaimana
mungkin aku sama dengannya?’

 4. Apabila engkau bertemu dengan orang bodoh, kurang ilmu
dan wawasan, katakan dalam hatimu, ‘Orang ini durhaka kepada Allah kerana
ketidaktahuannya sedangkan aku durhaka kepada Allah dengan pengetahuanku. Maka
hukuman Allah kepadaku lebih berat dibanding orang ini. Dan aku tidak tahu
bagaimana akhir hidupku dan akhir hidup orang ini’.

 5. Apabila engkau melihat orang kafir, maka katakan dalam
hatimu, ‘Aku tidak tahu, boleh jadi dia akan masuk Islam dan mengisi akhir
hidupnya dangan amal kebaikan, dan dengan keislamannya itu dosa dosanya keluar
dari dirinya seperti keluarnya rambut dari timbunan tepung. Sedangkan aku,
boleh jadi tersesat dari Allah (karena ujub memuja diri dan memandang rendah
orang lain) dan akhirnya menjadi kafir, dan hidupku berakhir dengan amal buruk.
Orang seperti ini boleh jadi besok menjadi orang yang dekat dengan Allah dan
aku menjadi orang yang jauh dari Allah’.
 

فَلَا تُزَكُّوۡۤا اَنۡفُسَكُمۡ‌ ؕ
هُوَ اَعۡلَمُ بِمَنِ اتَّقٰ

 Firman Allah SWT dalam Alquran, “Maka janganlah
engkau menilai dirimu lebih suci (dibanding orang lain). Dia (Allah) lebih tahu
siapa orang-orang yang bertakwa.” (Surah an-Najm ayat 32)

ditulis oleh : Drs. H. Ahmad Sulaiman, Wakil Ketua PDM Kabupaten Pekalongan


Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button