Keistimewaan Sujud Kepada Allah
Sujud
merupakan ibadah istimewa. Sujud merupakan bentuk ketaatan paling nyata kepada
Allah. Sujud ini pula (meski bentuknya berbeda) yang membedakan hamba yang taat
seperti malaikat dan hamba yang durhaka seperti iblis. Inilah keistimewaan
sujud. Imam Al-Ghazali juga mengutip hadits riwayat HR Muslim, Abu Dawud, dan
An-Nasa’i sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ
رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
Artinya,
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, ‘Momentum terdekat seorang hamba dan
Tuhannya adalah ketika sujud. Oleh karena itu, perbanyaklah doa saat itu,’” (HR
Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i).
Allah
membuka momentum kedekatan dengan hamba-Nya terutama pada saat mereka melakukan
sujud. Allah memberikan rahmat-Nya paling dekat saat di mana hamba-Nya tengah
bersujud. Kedekatan Allah ini dapat dirasakan oleh hamba-Nya sebagaimana
penjelasan Imam Al-Ghazali berikut ini:
فالساجد إذا أذيق طعم السجود يقرب لأنه يسجد
ويطوي بسجوده بساط الكون ما كان وما يكون ويسجد على طرف رداء العظمة فيقرب
Artinya,
“Orang yang bersujud ketika dicicipkan kepadanya rasa manisnya sujud akan
merasa dekat dengan Allah. Dengan sujudnya, ia melipat hamparan jarak alam
raya. Dengan demikian ia bersujud di atas hamparan salah satu sudut keagungan
Allah sehingga ia menjadi dekat,” (Imam Al-Ghazali, Raudhatut Thalibin wa
‘Umdatus Salikin, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], halaman 87).
Imam
Al-Ghazali juga memaknai sujud sebagai
ibadah istimewa yang menghapus “jarak” Allah dan hamba-Nya. Beliau
menganalogikan sujud dengan lorong waktu dan tempat yang “mendekatkan” Allah
(yang maha suci dari tempat dan waktu) dan hamba-Nya.
Keistimewaan
sujud ini yang juga membuat ibadah shalat menjadi istimewa. Dengan keistimewaan
ini, tidak heran kalau Rasulullah SAW menjadikan ibadah shalat sebagai puncak
kesenangan dan kebahagiannya sebagaimana sabda Rasulullah yang menyebutkan
shalat sebagai kesenangannya karena shalat menjadi penyambung dirinya dan Allah
SWT, momentum munajat, dan jalan pengangkatan derajat.
Pada
saat kiamat, bumi ini mengabarkan tentang penghuninya. Allah swt. berfirman,
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ
مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ
”Sungguh,
Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa
yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan). Dan,
segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab yang jelas (lauh mahfudz).” (QS
Yasin [36]: 12).
Mungkin
kita jarang menghitung berapa kali kita mencium tanah (bumi) sehari semalam?
Sholat wajib yang kita dirikan ada 17 rakaat, sama dengan sembilan tahiyat, 34
kali sujud. Berarti sehari kita mencium
bumi minimal 34 kali. Belum ditambah sholat sunat qabliyah, badiyah, dhuha, tahajjud,
sholat hajat, dan seterusnya. Bumi akan
menjadi saksi dan kelak di hari Akhir, dia akan mengungkapkan
kesaksiannya.
Saat
seorang shalat sungguh dia sedang berbicara dan Allah Ta’ala pendengarnya. Dan
pada saat yang bersamaan, Allah Ta’ala adalah pembicara dan hamba sedang
mendengarkannya. Dengan harmonisasi dialogis akan terjadi kehidupan yang penuh
kedamaian, ketenteraman dan keindahan.
Itulah sebabnya kata akhir dalam shalat adalah ungkapan salam, yakni
kedamaian, ketenteraman dan kebahagiaan. Pendek kata, hakikat makna sujud
adalah komitmen hamba kepada Tuhannya yang melahirkan kedamaian.
Orang
yang cinta dunia tidak akan suka pada hal ini. Orang yang pandangan
hidupnya materialistis tidak akan suka
mengerjakan hal yang sungguh ”berat” bagi mereka ini. Hanya yang yakin dengan
adanya hari pembalasan yang mau melakukan ini, mau melangkah di waktu Shubuh,
menembus udara dingin dan menahan kantuk untuk menyambut seruan adzan Subuh:
berjamaah memuji-Nya.
Tak
ada waktu yang paling istimewa yang diberikan Allah selama 24 jam selain waktu
fajar. Karena, saat itulah para malaikat turun ke dunia untuk menyaksikan
ketaatan seorang hamba yang melaksanakan ibadah atau hamba yang masih terlena
dalam buaian mimpi indah. Keimanan seorang hamba bisa diukur dari ibadah pada
waktu sepertiga malam terakhir. Ia mengerjakan qiyamullail tahajud, tadabur
Alquran, dan Shalat Subuh berjamaah di masjid. Orang yang sudah terbiasa dengan
rutinitas ibadah seperti itu berhak mendapatkan hidayah fajar dari Allah SWT.
Inilah
yang disebut dalam Alquran: mereka laki-laki yang menyukai kesucian, melangkah
ke tempat yang suci, berjalan atau
berkendaraan menuju tempat yang suci, berbondong-bondong menuju tempat
yang suci, dan Allah menyucikan mereka. Selain Allah dan para malaikatnya, ada
penyaksi aktivitas fajar kita, yaitu bumi yang kita injak. Bila kita mengimani
kitab-Nya, maka disebutkan di dalamnya betapa bumi yang kita injak ini
berbicara. Allah SWT berfirman:
يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا بِأَنَّ
رَبَّكَ أَوْحَىٰ لَهَا
“Pada
hari itu bumi menyampaikan beritanya, kerena sesungguhnya Tuhanmu telah
memerintahkan (yang demikian itu) padanya. (QS Az-Zalzalah [99]: 4-5).
Selain
sujud yang dilakukan ketika sholat wajib maupun sunnah, juga terdapat
macam-macam sujud lain yang perlu kita ketahui dan kita amalkan. Karena kondisi
itulah, maka dianjurkan untuk berdoa ketika sedang melakukan sujud. Terdapat
beberapa anggota badan yang harus menempel di tanah sewaktu kita sujud. Anggota
badan tersebut ialah kening dan hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan
kedua kaki. Hal ini seperti yang telah diriwayatkan dalam hadits berikut, “Aku
diperintahkan untuk sujud di atas tujuh anggota badan: kening (lalu beliau
menunjuk juga pada hidungnya), kedua tangan, kedua lutut, dan kedua kaki.” (HR.
Bukhari, Muslim)
Oleh
karena itu, perbanyak sujud untuk mendekatkan diri kepada Allah. Di antara
sujud yang sangat dianjurkan adalah sebagai berikut :
Pertama adalah sujud Sahwi. Sujud Sahwi
berasal dari bahasa Arab, Sahwun yang berarti lalai atau lupa. Secara istilah
syahwi ialah ada sesuatu, baik gerakan atau bacaan dalam shalat yang
terlupakan. Sujud Sahwi ini dilakukan ketika seseorang sedang melakukan ibadah
shalat dan merasa ragu atau lupa atas gerakan atau jumlah rakaat shalat yang
sedang dilaksanakannya. Dalam keadaan seperti ini, seseorang diberi kesempatan
untuk melakukan sujud sahwi. Hukum sujud syahwi adalah sunnah, namun, akan
lebih baik untuk dikerjakan.
Kedua adalah sujud Tilawah. Sujud Tilawah
merupakan gerakan sujud yang dilakukan ketika kita mendengar atau membaca salah
satu penggalan ayat Sajdah dari Al-Quran, baik ketika sedang shalat atau pun di
luar shalat. Hukum melakukan sujud tilawah adalah sunnah. Anjuran untuk
melakukan sujud tilawah sesuai dengan hadits berikut, “Dari Ibnu Umar r.a,
sesungguhnya Rasulullah SAW, suatu saat beliau pernah membaca al-Quran di depan
kami, maka ketika beliau sampai pada ayat sajdah, beliau takbir dan bersujud,
dan kamipun ikut bersujud bersama beliau.” (HR. Abu Dawud, Imam Bukhari).
Sedangkan
bacaan untuk sujud tilawah bisa dengan membaca : “Sajada Wajhiya Lilladzii
Khalaqahuu Wa Shawwarahuu Wa Syaqqa Samahu Wa Basharahuu Tabaarakallaahu
Ahsanul Khaliqiin”
Artinya:
Aku bersujud kepada Dzat (Allah swt.) yang telah menciptakanku dan membentukku
dan yang telah membukakan pendengaranku dan penglihatanku dengan kekuasaan dan
kekuatan-Nya. Maha Yang Memberkahi Allah Dzat Yang Maha Sebaik-Baiknya
Pencipta.
Ketiga
adalah sujud Syukur. Sujud Syukur ini dilakukan ketika seseorang mendapat
kenikmatan yang istimewa dari Allah SWT. Bisa berupa keselamatan dari bencana,
mendapat suatu pencapaian, atau kenikmatan-kenikmatan lainnya. Sujud syukur ini
hukumnya sunnah, dan bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Rasulullah SAW
sendiri juga melakukan sujud ini ketika mendapatkan kabar gembira atau mendapat
suatu kenikmatan. Dari Abu Bakrah r.a, dari Nabi SAW: “Apabila datang
kepada nabi saw. Kabar yang menggembirakan atau yang membahagiakan, beliau
langsung bersujud untuk berterima kasih kepada Allah SWT.” (HR. Abu Dawud)