Menghadirkan Sikap Muraqabah
Akhir-akhir ini kita disuguhi berita perilaku manusia yang menyimpang dari ajaran agama yang mengajarkan kebaikan hidup. Perilaku itu antara lain penyelewengan kekuasaan dan jabatan seperti perbuatan kolusi, manipulasi, korupsi, dan maksiat lainnya. Mengapa perilaku itu bisa muncul dalam diri manusia ? Apa yang menjadi pemicunya. Semua itu terjadi karena manusia kurang mumpuni dalam melakukan pengawasan yang melekat pada dirinya, yaitu tidak adanya muraqabah.
Apa itu muraqabah ? Secara bahasa, muroqabah mempunyai arti menjaga, mengawal, menanti, mengamati dan mengawasi. Secara istilah, Muroqabah adalah kesadaran diri seseorang yang berkeyakinan bahwa dirinya selalu dalam pengawasan Allah Swt. Dengan demikian, Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Kesadaran itu lahir dari keimanannya bahwa Allah dengan sifat ‘ilmu, bashar, dan sama’ (mengetahui, melihat dan mendengar)-Nya, mengetahui apa saja yang dia lakukan kapan saja dan di mana saja. Semua dalam pengawasan-Nya. Menurut Rasulullah Saw. muroqabah yang paling tinggi adalah kamu beribadah seolah-olah kamu melihat-Nya, jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat kamu. Inilah yang dinamakan sikap Ihsan.
Makna muraqabah adalah terpatrinya perasaan keagungan Allah Azza wa Jalla di setiap waktu dan keadaan serta merasakan kebesaran-Nya di kala sepi ataupun ramai. Kuatnya kebersamaan dengan Allah SWT dapat menumbuhkan sikap yang selalu berhati-hati dalam berbuat, artinya akan senantiasa disesuaikan dengan aturan syariat. Jika keberadaan seperti ini berjalan secara istimrariyah (berkesinambungan) maka sudah dapat dipastikan kelak akan lahir pribadi-pribadi yang hanif. Yakni munculnya kesadaran akan pengawasan Allah, akan mendorong seorang muslim untuk melakukan muhasabah, yaitu perhitungan, evaluasi terhadap amal perbuatan, tingkah laku dan sikap hatinya sendiri. Menurut Raid Abdul hadi dalam bukunya mamarat al-Haq, bahwa muhasabah dapat dilakukan sebelum dan sesudah amal perbuatan dikerjakan.
Adapun manfaatnya muhasabah adalah :
1. Untuk mengetahui kelemahan diri supaya dia dapat memperbaikinya dan juga untuk mengetahui hak Allah Swt. serta untuk mengurangi beban hisab di akherat.
Sikap muraqabah digambarkan oleh Nabi Muhammad SAW, ketika beliau menjelaskan kata ihsan: “Hendaklah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihatNya, dan jika memang kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihat kamu.” Sikap seperti ini di jaman modern sangat dibutuhkan sebagai pengendali udara materialistis yang dapat merusak sendi-sendi keimanan seseorang. Pengendalian melalui muraqabah lebih jauh akan mampu menciptakan tatanan masyarakat yang aman tentram (betul-betul terkendali).
Pelaksanaan muraqabah dapat dimulai ketika akan melakukan suatu pekerjaan dan di saat mengerjakannya, hendaknya setiap orang mengoreksinya, apakah telah sesuai dengan aturannya atau sebaliknya. Sehingga ketika sampai pada suatu waktu tertentu akan terlihat, lebih-lebih saat bertemu dengan kegagalan. Mengapa terjadinya suatu kegagalan, padahal menurut perasaan melakukannya secara maksimal. Inti muraqabah tercermin melalui firman Allah SWT :
الَّذِيْ يَرٰىكَ حِيْنَ تَقُوْمُ – ٢١٨وَتَقَلُّبَكَ فِى السّٰجِدِيْنَ – ٢١٩اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ – ٢٢٠
“Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat) dan melihat pula perubahan gerak badanmu diantara orang-orang yang sujud. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS.26:218-219).
Sesungguhnya manusia sejatinya selalu berhasrat dan condong kepada kebaikan serta menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya. Kehati-hatian (mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, bahwa “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari.”
Dalam setiap keadaan seorang hamba tidak akan pernah terlepas dari ujian yang harus disikapinya dengan kesabaran, serta nikmat yang harus disyukuri. Muraqabah adalah tidak berlepas diri dari kewajiban yang difardhukan Allah SWT yang mesti dilaksanakan, dan larangan yang wajib dihindari.
Muraqabah yang demikian dapat membentuk mental dan kepribadian seseorang menjadi baik sehingga ia menjadi manusia yang jujur. Berlaku jujurlah engkau dalam perkara sekecil apapun dan di manapun engkau berada. Kejujuran dan keikhlasan adalah dua hal yang harus engkau realisasikan dalam hidupmu. Ia akan bermanfaat bagi dirimu sendiri. Ikatlah ucapanmu, baik yang lahir maupun yang batin, karena malaikat senantiasa mengontrolmu. Allah SWT Maha Mengetahui segala hal di dalam batin.
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ ﴿ ٣٩﴾ وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَىٰ ﴿ ٤٠﴾ ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَىٰ ﴿ ٤١﴾ وَأَنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ الْمُنْتَهَىٰ ﴿ ٤٢﴾ وَأَنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَىٰ ﴿ ٤٣﴾ وَأَنَّهُ هُوَ أَمَاتَ وَأَحْيَا ﴿ ٤٤﴾
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu), dan bahwasanya DIA yang menjadikan orang tertawa dan menangis, dan bahwasanya DIA yang mematikan dan yang menghidupkan.” (QS. An-Najm: 39-44)
Seharusnya kita malu kepada Allah Swt. dalam setiap kesempatan dan seyogyanya hukum Allah menjadi pegangan dalam keseharian kita. Jangan kita turuti hawa nafsu dan bisikan syetan, jangan sekali-kali kita berbuat riya’ dan nifaq. Tindakan itu adalah batil. Kalau kita berbuat demikian maka kita akan disiksa. Kita berdusta padahal Allah Swt. mengetahui apa yang kita rahasiakan. Bagi Allah tidak ada perbedaan antara yang tersembunyi dan yang terang-terangan, semuanya sama. Oleh karena itu, “Bertaubatlah kamu kepada-Nya dan dekatkanlah diri kepada-Nya (bertaqarrub) dengan melaksanakan suluruh perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya.
penulis : Drs. H. Amat Sulaiman, wakil ketua PDM Kabupaten Pekalongan