
🌻 *SPIRIT TAHAJUD (062) 0303*🌻
*Kesempurnaan Ibadah Puasa*
✍️ Keistimewaan bulan Ramadhan sebenarnya telah dikenal sejak masa jahiliyah oleh berbagai bangsa dan agama. Bangsa-bangsa sebelum Islam telah mengisi keistimewaan itu dengan berbagai ritual. Aktivitas berpuasa pun telah ada sejak sebelum kedatangan Islam. Mereka berpuasa mulai pertengahan Sya’ban dengan tujuan menyambut datangnya musim panas dan mendekatkan diri kepada tuhan mereka. Islam tidak saja mengistimewakan bulan itu, melainkan juga memuliakannya, yaitu dengan diwajibkannya umat Islam untuk melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh. Dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 183, disebutkan
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Di leluhur kita, istilah puasa memiliki ragam sebutan sesuai dengan daerah dan wilayah masing-masing. Namun, istilah shaum atau shiyam menjadi yang populer digunakan lantaran kedua kata ini merupakan diksi asli dari perintah kewajiban berpuasa, sebagaimana yang termaktub di dalam Al-Qur’an. Disebutkan dalam buku al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadzil Quranil Karim karya Muhammad Fuad Abdul Baqi, bahwa kata shaum tersebut satu kali dalam Al-Qur’an, yaitu pada Surat Maryam: 26,
فَكُلِيْ وَاشْرَبِيْ وَقَرِّيْ عَيْنًاۚ فَاِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ اَحَدًاۙ فَقُوْلِيْٓ اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا فَلَنْ اُكَلِّمَ الْيَوْمَ اِنْسِيًّاۚ
Maka makan, minum dan bersenang hatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.”
Puasa dalam ayat itu berarti diam dan menahan diri untuk tidak berbicara. Arti kata tersebut telah dikenal sebelum Islam datang. Jadi, secara etimologi, shaum ataupun shiyam mempunyai arti imsâk (menahan), shamt (diam tidak bicara), rukûd (diam tidak bergerak), dan wuqûf (berhenti). Dengan demikian secara bahasa puasa berarti meninggalkan atau tidak makan-minum, tidak berbicara, dan tidak melakukan aktivitas apapun. Makna harfiah ini kemudian menjadi makna pakem yang melekat pada istilah shaum dan shiyam sampai saat ini.
Dalam lingkup syari’at atau disiplin fiqih Islam, Shaum atau shiyam dimaknai sebagai aktivitas menahan diri, dengan disertai niat, dari makan, minum, berhubungan badan, dan segala hal yang membatalkan sejak terbitnya fajar sampai terbenam matahari. Adapun kesempurnaan dan kelengkapan ibadah puasa itu adalah dengan menghindari segala larangan dan tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang haram. Rasulullah saw bersabda :
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan keji dan berbuat keji, Allah tidak butuh orang itu meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari).
Dari beberapa keterangan tersebut jelaslah bahwa puasa itu bukan saja menahan diri dari lapar, haus bahkan tak berhubungan suami istri, tapi juga mengendalikan diri dari syahwat lain yang bisa merusak puasa. Misalnya, sedang puasa tapi suka menggunjing orang, bertengkar, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, puasa yang bercampur dengan perkataan atau perbuatan keji atau dusta, minimal dapat mengurangi puasa, bahkan pada puncaknya tidak diterima Allah. Dengan demikian, shaum yang diiringi perkataan dan perbuatan dusta, maka tidak akan dianggap oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ
“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1082 mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Kesimpulannya : Seseorang yang masih gemar melakukan maksiat di bulan Ramadhan seperti berkata dusta, menfitnah, dan bentuk maksiat lainnya yang bukan pembatal puasa, maka puasanya tetap sah, namun dia tidak mendapatkan ganjaran yang sempurna di sisi Allah. Semoga kita dijauhkan dari melakukan hal-hal semacam ini. Aamiin.🙏

