Artikel

RAMADHAN DAN TEROR

Ucapan marhaban ya Ramadhan, mencerminkan ungkapan penuh kebahagiaan umat Islam dalam menyambut datangnya ibadah puasa selama satu bulan penuh. Segala rangkaian ibadah dari ibadah lain kembali dilakukan. Manusia-manusia Muslim itu pun bagai menjadi makhluq surgawi. Namun, seperti tahun-tahun sebelumnya, hubungan makhluq surgawi itu dengan ketentraman duniawi, kebebasan manusia dari segala macam derita kekerasan dan derita kemiskinan, selalu merupakan persoalan yang tidak mudah dijelaskan.

Puasa di bulan Ramadhan kali ini, diwarnai dengan teror bom di beberapa gereja di Surabaya. Seakan mengingatkan dengan berbagai peristiwa teror yang terjadi selama ini, yang sampai hari ini peristiwa itu selalu berulang. Lebih sadis lagi, dalam peristiwa teror kali ini, pelaku melibatkan anak-anak sebagai eksekutor teror. Tidak mengerti apa yang ada dalam benak para pelaku teror itu, yang ketika mengorbankan diri sendiri dan orang lain, tampak dilakukan dengan tanpa beban, semakin banyak korban, semakin baik, mungkin begitu pikirnya.

Sungguh suatu mementum istimewa sekiranya kita mampu menghadirkan makna baru puasa di tengah aktivitas teror yang dilakukan oleh para ekstrimis dan radikalis. Tapi yang perlu menjadi catatan awal adalah, perilaku estrimis dan radikalis tidak ada kaitannya dengan agama manapun. Semua manusia jika ditanamkan ideologi radikal, maka potensi untuk melakukan tindakan teror akan semakin besar, apalagi jika potensi itu dimanfaatkan pihak-pihak tertentu yang sengaja ingin membuat situasi teror untuk kepentingan-kepentingan mereka.

Pemikir Muslim Sayyed Hosein Nasr, dalam Ramadan, Motivating Believers to Action: An Interfaith Perspective, menulis tentang puasa dengan sangat menyentuh sekaligus mendalam: “Aspek yang paling sulit dari puasa ialah mengendalian diri dari jiwa hewani, the carnal soul, al-nafs al-ammarah, seperti yang disebut dalam al-Qur’an. Dalam puasa kecenderungan jiwa hewani untuk memberontak perlahan-lahan dijinakkan dan ditenangkan. Setiap saat merasakan lapar, jiwa seorang muslim diingatkan bahwa demi mematuhi perintah Ilahi, gejolak jiwa hewani harus dikesampingkan. Itulah sebabnya, puasa bukan hanya menahan diri dari makan, tetapi juga menahan diri dari semua dorongan hawa nafsu”.

Ekstrimisme dan radikalisme adalah perilaku yang berlebih-lebihan. Walau motif yang diusung bisa jadi adalah nilai-nilai suci, seperti jihad, tetapi penerapannya yang menelan korban tidak bersalah adalah sisi-sisi kejahatan luar biasa. Perlu ada upaya untuk melakukan deekstrimisasi atau deradikalisasi. Mental berbuat teror dialihkan kepada sifat dan sikap kasih sayang sesama, karena pada hakekatnya semua manusia menginginkan kehidupan yang damai penuh cinta kasih. Jiwa hewani, meminjam istilahnya Hosein Nasr, jiwa yang senang melihat orang lain menjadi korban, perlu dijinakkan dan ditenangkan. Nafsu berbuat teror perlu ditaklukkan.

Puasa, Kembali seperti yang dikatakan Sayyed Hosein Nasr, dimaksudkan sebagai benteng kesucian terhadap nafsu berlebihan. Dalam berpuasa, lanjutnya, manusia telah berpihak kepada Tuhan secara otentik dan meninggalkan nafsu berlebihan. Itulah mengapa Nabi sangat menyukai puasa. Dengan puasa, melahirkan sifat Nabi yang penuh kasih sayang, sehingga bahkan beliau menyuruh umatnya untuk berpuasa juga di luar bulan Ramadlan. 

Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad bersabda, “Bila engkau berpuasa, maka puasakanlah pendengaranmu dan penglihatanmu dari hal-hal yang haram. (Puasakanlah) anggota tubuh dan seluruh ragamu dari hal yang buruk, tinggalkan kebiasaan mengganggu orang dan menyiksa pembantumu. Pastikan pada dirimu adanya ketenangan puasa. Berusahalah untuk selalu tenang dan diam kecuali hanya dengan zikir kepada Allah. Janganlah engkau jadikan hari puasamu seperti hari iftar-mu (hari ketika engkau berbuka). Hindarilah pergaulan dengan istrimu dan perbuatan mencaci serta tertawa terbahak-bahak karena sesungguhnya Allah membenci hal itu. (Kitab Al-Bihar, juz 96, hal. 292)
Perbuatan menyiksa, mengganggu orang bahkan sampai membunuh orang tidak bersalah sangat dibenci oleh Nabi. Jangankan membunuh dalam jumlah yang banyak, sekedar menyakiti pembantu saja sesuatu yang sangat dilarang. Oleh Nabi hal-hal seperti itu harus dihilangkan dari karakter Muslim. Ramadhan dan puasa menjadi sarana kembali kepada jati diri muslim otentik, Muslim yang mencintai perdamaian.

Pada sisi lain, Islam, sebagaimana tercermin dalam arti bahasanya adalah agama keselamatan. Kehadiran Islam di muka bumi ini, misi utamanya untuk menyelamatkan umat manusia, sehingga kehidupan manusia menjadi sejahtera, damai dan makmur. Hal ini didukung beberapa informasi ayat al-Qur’an sebagai berikut:
Q.S. al-Anbiya: 107

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

Q.S. an-Nahl: 89

“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”

Q.S. al-Mujadalah: 22

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.”

Kalau kita perhatikan firmah-firman Allah tersebut, semua mengarah kepada bentuk otentik Islam yang sangat cinta damai dan mengutamakan tujuan-tujuan untuk mencapai kemashlahatan umat manusia secara universal. Islam sangat menentang segala bentuk kekerasan. Bahkan dalam dakwah pun, yang harus dikedepankan adalah hikmah (kebijaksanaan) dan mau’idhah hasanah (perkataan yang bersahabat) serta jika terpaksa harus ada perdebatan maka penyelesaiannya melalui jalur-jalur dialog yang bersahabat (wajadilhum billati hiya ahsan), sebagaimana dalam firmanNya:

Q.S. an-Nahl: 125

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Salah satu sebabnya adalah ada sebagian umat Islam yang lebih memilih memperdalami agama, namun tidak berdasarkan sumber yang otentik, ataupun ulama yang benar-benar memiliki pemahaman agama yang luas dan lurus (hanif). Terkadang sumber bacaannya adalah buku-buku terjemahan yang kurang dapat dipertangungjawabkan, menerima ilmu dari orang yang pemahaman agamanya sangat dangkal. Ahli kimia bicara agama, ahli matematika bicara agama, ahli membuat bom pun bicara agama.

Apa jadinya kesimpulan yang mereka keluarkan. Padahal al-Quran, tafsir, dan fiqh jihad memiliki karakteristik dan syarat-syarat yang sangat teliti dan khusus dan harus tepat sesuai fungsi dan kegunaannya. Hal itu sama saja, dengan apa jadinya jika seorang ahli agama berbicara kedokteran, berbicara pertanian, teknik mesin dan lain-lain.

Maka memahami sesuatu ilmu termasuk agama harus berdasarkan dari sumber dan ahlinya yang otentik, jika tidak penyelewengan-penyelewengan kesimpulan yang dijelmakan melalui aksi akan berakibat fatal bagi manusia itu sendiri. 

Selamat menunaikan ibadah di bulan Ramadhan.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button